Benarkah Dunia Pendidikan Indonesia Sedang dalam Masa Suram? - Belum selesai greget gue tentang berita yang akhir-akhir ini memojokkan dunia pendidikan Indonesia,
dimana ada orangtua--karena keberatan anaknya dicubit oleh gurunya--yang melaporkan guru
hingga terjadi persidangan atas kasus penganiayaan. Sekarang ada lagi kasus guru yang dipukuli
orangtua, lantaran si anak mengadu telah dipukul oleh gurunya. Tanpa ba.. bi.. bu, orang tua datang
ke sekolah lalu menghajar guru yang dimaksud. Subhanallah.
Benarkah Dunia Pendidikan Indonesia Sedang dalam Masa Suram? |
Gue sebagai seorang guru, merasa sangat prihatin pada apa yang terjadi dengan dunia pendidikan
saat ini. Di Indonesia, rasanya pendidikan sudah tidak lagi dihargai sebagaimana seharusnya. Padahal,
di jaman gue dulu sekolah, nggak pernah ada cerita kalau murid bisa membantah gurunya. Sekarang,
jangankan membantah, justru guru yang kini jadi bulan-bulanan orangtua/wali murid.
Kalau melihat apa yang terjadi pada pak Dasrul, guru yang diserang dan dikroyok oleh orang tua dan
murid, di sebuah SMK di Makassar, gue jadi bertanya-tanya, sebenarnya, ada apa dengan mereka,
para orangtua, yang dengan tidak berakalnya menyerang atau memperkarakan guru yang senantiasa
mendidik anak mereka selagi mereka mencari nafkah untuk keluarga. Atau ada apa dengan guru-guru
di Indonesia yang membuat hal ini mungkin terjadi?
Gue adalah salah satu guru yang tidak setuju apabila ada guru lain yang mendisiplinkan murid dengan
cara yang salah. Kalau di jaman gue sekolah dulu, ada seorang guru yang suka marah-marah dengan
kata-kata kasar yang bahkan menurut gue, nggak pantas diucapkan oleh seorang guru--yang
harusnya jadi teladan bagi para murid. Menurut gue, dengan kata-kata makian kasar, tidak akan
merubah si anak menjadi lebih baik. Ya iyalah, karena justru akan membuat murid yang bersangkutan
akan antipati dan timbul pemberontakan dalam jiwanya.
Padahal sudah jelas sekali dalam lagu kebangsaan tercinta kita, yang kita nyanyikan setiap upacara
bendera, lagu Indonesia Raya, ada bagian lirik berbunyi, "...Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.."
yang menurut gue dan cara berpikir gue yang pendek ini, adalah bahwa setiap orang, baik dia murid,
karyawan, atau pasangan sekalipun, selalu akan menjadi manusia yang baik bila yang didahulukan adalah dengan
menyentuh jiwanya, baru diikuti oleh badannya.
Yah, nggak jauh beda sih dengan orang yang baru PDKT, pastilah, cari-cari cara dulu untuk dapat
hatinya baru bisa dipegang-pegang, kan, setelah bisa pacaran? Ups. Baiklah, analogi kali ini nggak nyambung banget. Hahahaha.
Begitu juga dengan murid. Gue berpendapat bahwa seharusnya seorang guru bisa mengambil hati
muridnya, agar dengan menjadi guru, seseorang nggak cuma bisa mengajari sesuatu yang baru kepada
seorang murid, berupa ilmu pengetahuan dan peningkatan akhlak, tapi juga menginspirasi.
Gue juga, terlepas dari profesi gue sebagai seorang guru, adalah orang yang paling menentang
tindakan orangtua yang dengan semena-mena memojokkan pihak pendidik yang telah susah dan payah
berpikir keras bagaimana memanusiakan anak-anak mereka di sekolah. Mereka kan nggak selalu tahu,
apa yang anak-anak mereka lakukan di sekolah. Mereka cuma mengantar, menitipkan, lalu ketemu lagi
di saat mereka ataupun anak-anak mereka sama-sama lelah karena seharian beraktivitas.
Gue percaya, sedikit sekali--ini berarti masih ada loh ya--orangtua yang sepulang anak sekolah,
akan menanyakan apa yang sudah dipelajari di sekolah, apa yang sudah mereka lakukan di sekolah,
atau sekadar bertanya, ada pelajaran yang tidak mereka mengerti atau tidak. Murid-murid gue
sendiri misalnya, sering gue tanya ke mereka, apa yang mereka lakukan bersama kedua orangtua
mereka di rumah setelah pulang sekolah? Jawabannya rata-rata cuma bilang kalau mereka langsung
istirahat.
Ibarat pendidikan adalah secangkir kopi, yang punya tiga unsur utama dalam proses untuk menikmati pahit manisnya, Yang dimaksud terdiri dari 3 unsur adalah 1) Kopi, 2) Gula, 3) Rasa hal ini sama seperti dunia pendidikan yang mengibaratkan kopi sebagai orang tua/wali, gula sebagai guru, dan rasa adalah siswa. Jika, kopi terlalu pahit siapa yang salah? Gulalah yang disalahkan karena terlalu sedikit hingga "rasa" kopi pahit. Jika kopi terlalu manis, siapa yang disalahkan? Gula lagi karena terlalu banyak hingga "rasa" kopi manis. Lalu, jika takaran kopi dan gula seimbang, siapa yang dipuji? Tentu semua akan berkata, "kopinya mantap!". Ke mana gula yang mempunyai andil membuat "rasa" kopi menjadi mantap? Itulah guru yang ketika, "rasa" (siswa) terlalu manis (menyebabkan diabet) atau terlalu pahit (bermasalah) akan dipersalahkan. Tetapi ketika "rasa" mantap atau berprestasi maka orang tualah yang akan menepuk dadanya, "Anak siapa dulu?!"
Buat para guru, di luar sana, yang sudah bersertifikasi atau belum, yang sudah bertunjangan kinerja
atau belum--karena biasanya, tunjangan juga memberikan perbedaan motivasi kepada guru-guru
saat mereka melakukan tugas--gue hanya mengingatkan untuk lebih arif ketika memberikan hukuman
kepada murid saat mereka berbuat salah, mereka hanyalah anak-anak.
Dan kepada kalian, wahai orangtua yang sudah menitipkan anak-anak kalian di sekolah untuk dididik,
bijaksanalah dan turut sertalah menyukseskan program pendidikan di sekolah. Jangan hanya menyerahkan anak kalian lalu ingin mengambil hasil yang sesuai dengan keinginan kalian, tapi ketika pihak sekolah dan para pendidik sedang melakukan tugasnya, kalian protes membabi buta saat sesuatu tidak sesuai dengan harapan kalian.
Bagaimana pun, orangtua adalah pondasi bagi pendidikan anak.
Bagaimana pun, orangtua adalah pondasi bagi pendidikan anak.
Hayo, mau komen apa coba?
Link aktif akan langsung ditandai sebagai spam, sebagai alternatif bisa pilih comment as menggunakan Nama/URL ya :)
EmoticonEmoticon